Runtuhnya ‘Teori 1950’
Pengurus Persija Jakarta saat ulang tahun bond yang ke-30 di tahun 1958 (Sumber : Sin Po, 30-11-1958)Sepak bola Indonesia lahir bukan dari kebanyakan sepak bola di belahan eropa lainnya yang lahir tunggal sebagai klub. Di Indonesia, beberapa klub memang lahir tunggal tapi mereka mempunyai induk semang yang menaungi klub tersebut.
Ini terjadi dikarenakan Indonesia masih ramai sebagai sepak bola daerah, terlebih pada jaman penjajahan kolonial Belanda, mereka mempunyai induk di masing-masing daerah dan mempunyai bapak induk besar yang mengatur semua hal terkait kompetisi di beberapa daerah.
Dengan keunikan tersebut maka tak jarang kita sering mendengar yang namanya VIJ (Voetbalbond Indonesia Jacatra) atau VBO (Voetbalbond Batavia Omstraken) di daerah Batavia tempo dulu. Perlu diingat mereka bukanlah sebuah klub tapi mereka semacam tim nasional yang mewakili Batavia atau orang pribumi bilang Jacatra di ajang sepak bola tertinggi yang mewakili daerahnya.
Pernah kita melihat-lihat dalam buku sejarah nama VIJ pada era sebelum kemerdekaan selalu bertanding di bawah payung PSSI dan VBO sebelum membubarkan diri bertanding di payung NIVB. Kedua bond (perkumpulan) itu bermain sepak bola layaknya tim nasional yang berisi beberapa pemain hebat dari klub yang berpayung pada bond daerahnya.
Setelah kemerdekaan beberapa bond dengan nama Belanda meng-Indonesia-kan nama perkumpulannya, seperti VIJ menjadi Persija lalu SIVB menjadi Persebaya atau MVB menjadi PSM Makassar. Namun ada sedikit polemik sejarah dimana ada suatu “Teori” yang membahas mengenai perubahan nama ini.
Teori ini lahir entah dari penelitian yang mana dengan sumber-sumber yang mana dan anehnya hanya menyangkut ke salah satu bond, yaitu Persija yang dahulu bernama VIJ. Diceritakan dalam Teori tersebut bahwa Persija adalah hasil gabungan dari VIJ dan VBO yang melebur menjadi satu di tahun 1950 dan membentuk yang namanya Persija. Begitulah kira-kira isi Teori tersebut yang secara tak langsung dinamakan ‘Teori 1950’.
Namun ada yang salah dengan teori tersebut, tidak dijelaskan mengapa hanya Persija yang menjadi penelitian budaya dari isi teori itu. Oke mungkin saja sang peneliti budaya tersebut lupa membaca buku HUT 60 tahun Persija atau buku tua berjudul Abidin, Si Pentjetak Gol yang banyak memberi penjelasan kepada kita di era modern ini bahwa bentuk kelahiran bond sepak bola khususnya Persija melalui proses terjemahan dari bahasa Belanda ke Indonesia.
Ada satu lagi yang menjadikan 'Teori 1950’ tampak seperti penelitian satu arah, yaitu terkait lahirnya Persija hasil kawin-mawin antara VIJ dan VBO. Nah, di buku Abidin, Si Pentjetak Gol dijelaskan bahwa VIJ tidaklah bergabung dengan VBO seperti yang diinginkan 'Teroi 1950’, karena di tulisan-tulisan Abidin sudah jelas bahwa VBO sendiri sebagai bond membubarkan dirinya pada tahun 1951, sedangkan VIJ menjadi nama Indonesia pada tahun 1950.
Oiya Abidin ini adalah salah satu pemain sepak bola yang bermain di VIJ hingga VIJ meng-Indonesia-kan namanya menjadi Persija. Selain itu di ulang tahun Persija ke 30, Abidin mendapat peniti penghargaan dari Persija atas jasanya kepada pesepkabolaan Indonesia khususnya di Jakarta.
Abidin pun pernah berujar bahwa VBO bubar seiring dengan hilangnya pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia.
“Dengan hilangnja pemerintahan Hindia Belanda maka hilang pulalah organisasi VBO.” perkataan Abidin dalam bukunya di halaman 69. Di buku itupun dijelaskan bahwa beberapa klub anggota VBO keluar dan memilih bergabung dengan Persija. Walhasil VBO sebagai induk sepak bola dari kalangan kumpeni pun bubar dengan sendirinya ditahun 1951.
Jika VBO saja bubar ditahun 1951, lalu mengapa 'Teori 1950’ tetap mengatakan bahwa VIJ dan VBO bergabung dan membentuk Persija? Apakah ada yang salah dari sumber-sumber pembentukan teori itu? Yang jelas dari buku Abidin, Si Pentjetak Gol ini kita akan paham bahwa 'Teori 1950’ tidak berlaku.
Sejarah haruslah diceritakan dengan benar, selain itu sejarah bukanlah suatu tulisan untuk menjatuhkan salah satu pihak. Pembenaran sejarah hendaknya dibangun dari kalangan sendiri terlebih dahulu. Contoh dari 'Teori 1950’ yang mengatakan bahwa Persija berdiri tahun 1950 dan hasil kawin-mawin VIJ dan VBO sudah sangat jelas bisa dipatahkan oleh buku Abidin, Si Pentjetak Gol.
Kurang puas dengan satu buku, coba tengok Buku 30 Tahun PSSI atau Buku 60 Tahun Persija, bahkan dibeberapa literatur pun menyebutkan bahwa Persija berdiri ditahun 1928 dengan nama VIJ dan ini sejalan dengan tulisan Abah Alwi Shahab dalam bukunya Maria Van Engels yang juga menulis bahwa VIJ adalah Persija yang merubah nama menjadi nama Indonesia.
Klop sudah, bahwa pernyataan-pernyataan yang termaktub dalam sumber-sumber tersebut menyebutkan hal yang sama bahwa Persija berdiri tahun 1928 dengan nama awal VIJ, dan itu sama dengan kompatriotnya seperti SIVB menjadi Persebaya dan MVB menjadi PSM Makassar.
Dengan adanya buku Abidin, Si Pentjetak Gol, setidaknya memberi pelajaran sejarah bagi generasi muda khususnya yang menyukai Persija agar memahami sisi sejarah sepak bola Indonesia dan Persija, agar tidak lahir 'Teori 1950’ yang keblinger dalam menyajikan sejarah sepak bola Persija.
Merdeka Lewat Jalur Sepak Bola
Sepak bola di Indonesia berkembang jauh sebelum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) berdiri pada 1930. Olah raga bal-balan itu masuk ke Indonesia setelah berbagai ideology masuk ke Indonesia melalui tiga pilar utama Politi Etis ala kolonial buatan Peter Brooscooft dan Van Deventer.Dengan kebijakan tersebut, perubahan tatanan sosial di Hindia Belanda pun mulai terjadi. Sepak bola sebagai sarana sosial merambah dengan cepat sebagai ideologi ke darah para masyarakat saat itu.
Sejarah mencatat ada beberapa klub tua yang lahir di Indonesia. Di Surabaya ada klub Patjakerling yang didirikan Muhammad Zein tahun 1902, namun laporan yang lebih rapih tentang pendirian klub terjadi di Batavia (Jakarta).
Depatemen van Justitie mencatat ada sebuah dokumen yang tercantum dalam Aglemente Secretarie, 25 April 1894 bahwa klub bola pertama di sekitaran Batavia adalah Criket-En Football Club Rood-Wit. Klub ini sebetulnya sudah jauh berdiri pada tahun 1880-an, namun sepak bola baru hadir di klub tersebut pada tahun 1893. Sebelumnya mereka fokus kepada kriket.
Dari Rood-Wit (Merah-Putih) inilah benih sepak bola di Indonesia mulai lahir. Di tanah Makassar, beberapa sumber pun menyebutkan bond (perkumpulan) sepak bola bernama Makassar Voetbal Bond (MVB) yang kini dikenal sebagai PSM Makassar lahir pada tahun 1905
Di tanah Batawi atawa Batavia atau sekarang bernama Jakarta, benih sepak bola sudah semarak dari pada di daerah-daerah lain. Bond Belanda Voetbalbond Batavia en Omstraken (VBO) sudah menancapkan kukunya ke dalam sendi-sendi masyarakat Betawi kala itu.
Namun, pertentangan dari kaum pribumi di Betawi membuat VBO tidak sendiri dalam menjalankan roda sepak bola di pusat pemerintahan kolonoial itu. Voetbalbond Indonesia Jacatra lahir pada November 1928. Bond yang kini kita kenal sebagai Persija itu lahir untuk menggerus sikap VBO yang rasis terhadap klub lokal di Betawi, semisal Tjahja Kwitang, Gang Solitude, Pejambob, dll.
Berita ‘pemberontakan’ sepak bola di Betawi ini, terdengar oleh Ir. Soeratin Soesrosoegondo. Beliau adalah insinyur lulusan Jerman yang peduli dengan sepak bola Indonesia. Soeratin pun melakukan perjalan ke Betawi untuk menemui beberapa tokoh teras VIJ, yakni Soeri, A. Alie dan beberapa pendiri bond itu.
Rapat-rapat awal pembentukan PSSI terjadi di Hotel Binnehoft, di kawasan Kramat, Batavia-Centrum (sekarang Jakarta Pusat). Soeratin dan Soeri plus hadirnya Otto Iskandardinata semakin kaut untuk membuat payung organisasi bernama PSSI, yang bertujuan sebagai jalur baru Indonesia merdeka.
Hasilnya, pada 19 April 1930 PSSI resmi bediri di Societeit Hande Projo, Yogyakarta. Bentuk perlawanan baru untuk Indonesia lahir dari sepak bola.
Perjalan timnas Indonesia pun tak jauh dari liku-liku kehidupan bersosial dan berpoliti. Tim PSSI pernah ditipu habis-habisan saat mereka akan mengundi sebuah tim yang akan berangkat ke Piala Dunia 1938. Tim dari Nederlandsch-Indische Voetbal Unie (NIVU) rencana akan bertanding dengan Tim PSSI, dimana pemenangannya akan melaju ke Piala Dunia 1938. Namun, sebelum pertandingan itu berjalan, NIVU sudah mendaftarkan timnya untuk ikut dan memakai nama Hindia Belanda.
Lambat laun, PSSI tak mempersoalkannya. Karena pada tahun 1951, NIVU bubar dan hanya ada PSSI sebagai induk resmi sepak bola di Indonesia. Tentu saja, berjuangan PSSI untuk memerdekakan Indonesia bukan dari angkat senjata, namun lebih kepada “jalur” baru melalui ideologi bernama sepak bola.
Kini, sepak bola Indonesia bisa dibilang ‘mati-suri’ di kancah Internasional. Sistem sepak bola Indonesia tak mampu atau belum mampu mengikuti perubahan jaman yang semakin kencang berputar.
Prestasi sepak bola Indonesia memang menawan di tahun 1960an hingga 1970an. Dan kini, menghadirkan prestasi untuk level Asia Tenggara saja, Indonesia selalu kesulitan. Benar, jika Indonesia pernah mengaum keras di tahun 1950an-1960an saat Cho Seng Quee, Antony Pogacnik dan EA Mangindaan sampai drg Endang Witarsa membangun fondasi tim nasional. Akan tetapi kini semua orang bisa menilai prestasi kita tak semewah dulu.
Kini prestasi timnas Indonesia menukik tajam, hampir tidak ada kabar gembira tentang prestasi tim nasional yang diwartakan surat kabar dan media online Indonesia, selain timnas Indonesia U-19 juara ASEAN. Bahkan sepak bola Indoensia sedang dirudung duka di tahun Republik ini merayakan usia ke 70 tahun.
Hadirnya sanksi dari FIFA turut menambah duka akan sepak bola di negeri ini. Meski demikian, di tengah sanksi FIFA tersebut, adalah saat yang tepat untuk semua elemen sepak bola Indonesia berebenah.
Setidaknya mereka bisa mengembalikan ideologi sepak bola yang dulu pernah menjadi bagian dalam membebaskan bangsa Indonesia dari segala bentuk penjajahan di bumi nusantara, menjadi konsep baru untuk menghadirkan prestasi bagi sepak Indonesia.
*tulisan ini pernah dimuat di 90min.com
26 Juli 1930 : Lahirnya Macan Betawi, Tan Liong Houw
Tan Liong Houw lahir di Surabaya 26 Juli 1930. Beliau merupakan pemain yang sangat legendaris bagi Persija Jakarta dan juga Tim Nasional Indonesia. Perkenalan beliau dengan sepakbola mengalir begitu saja berkat bakat yang diturunkan oleh sang ayah, Tan Chin Hoat.Tan Liong Houw muda sempat mendapat larangan bermain sepakbola dari sang ibu, Ong Giak Tjiam. Karena bermain sepakbola secara sembunyi-sembunyi, akhirnya orang tuanya memergokinya bermain sepakbola dan Liong Houw muda pun dikirim ke Semarang. Tapi sepakbola tidak bisa dipisahka begitu saja dari kehidupan Liong Houw, beliau akhirnya kembali ke Jakarta dan bertemu orang-orang dari perkumpulan sepakbola etnis tionghoa selain UMS, yaitu Chung Hua (sekarang Tunas Jaya).
Ada yang unik dari pernampilan Tan Liong Houw ketika bertanding. Jika ayahnya selalu melilitkan handuk di leher saat bermain, Tan Liong Houw malah meililitkan sapu tangan di tangan kirinya.
Tan Liong Houw adalah simbol Chung Hua di Persija dan Indonesia. Beliau yang berposisi sebagai gelandang kiri adalah pemain andalan Persija Jakarta. Bahkan para pendukung Persija era 1950-an menjulukinya dengan sebutan “Macan Betawi” atau “Macan Jakarta” karena permainannya yang berani. Liong Houw turut mengantarkan Persija Jakarta meraih gelar juara ke-5 di tahun 1954. Kala itu Persija memang menjadi tim yang disegani dengan materi para pemain dari UMS, Chung Hua, Maesa dan BBSA (klub-klub anggota Persija).
Sedangkan kiprah Tan Liong Houw di Timnas Indonesia juga membanggakan. Tan Liong Houw bersama Ramang dan juga para pemain Timnas lainnya yang banyak berasal dari Persija, berhasil mencapai babak perempatfinal Olimpiade Melbourne 1956. Dari sini lah cerita legendaris itu dimulai, dimana Tan Liong Houw dan kawan-kawan mampu menahan tim kuat saat itu, Uni Sovyet dengan skor 0-0 sebelum akhirnya kalah 0-4 pada laga ulangan di hari berikutnya. Tan Liong Houw bermain dengan “keringat darah”, kaus kakinya sampai robek di tengah pertandingan karena termakan permainan keras lawan.
Tan Liong Houw yang memilih nama Latieff Haris Tanoto sebagai nama Indonesia, dan mempunyai empat orang anak, dimana dua anak tertuanya Wahyu Tanoto dan Budi Tanoto meneruskan bakat sepakbola yang dimiliki sang ayah. Wahyu Tanoto dan Budi Tanoto pernah membela Persija dan juga Timnas Indonesia di era 80-an.
Setelah Asian Games 1962 di Jakarta, Tan Liong Houw memutuskan pensiun. Tan Liong Houw bermain untuk Indonesia selama dua belas tahun sejak 1950. Ia memperkuat tim nasional dalam empat Asian Games dan banyak kejuaraan regional. Salah satunya menjuarai Merdeka Games 1961 di Malaysia setelah di babak final mengalahkan tuan rumah 2-1.
*tulisan ini pernah di situs persija.co.id
Hari ‘Kalahnya’ Stadion Menteng
Pagi hari Rabu, tepat di tanggal 26 Juli 2006, sebuah stadion tua sudah mulai bersiap untuk menerima ‘kekalahannya’. Kalah? Apa stadion itu ikut bermain sepak bola? Apa stadion itu semacan setan yang bisa bergerak? Ohhh, bukan saudaraku, stadion itu menerima kekalahannya untuk tetap ada dan berdiri diantara megahnya pembangunan Ibu Kota bernama Jakarta.Lalu, kenpa dengan stadion itu? Apakah stadion itu semcam tempat skate park sehingga harus terus ada?
Oh bukan juga sebagai tempat skate park, tetapi stadion itu punya kenangan hebat bagi sebagian orang. Jika penasaran dengan namanya, stadion itu punya nama Stadion Persija. Sebuah rumah dimana tim sepak bola Persija berteduh dan bermain.
Jakarta memang sebuah kota yang berkembang maju dan tidak pernah sepi dari jaman Engkong kita punya Engkong lagi. Sebuah kota yang ramai akan lalu lalang orang, plus terjadinya perputaran ekonomi membuat sebagian besar penghuninya memakai adat ‘yang kuat yang bertahan’.
Coba lihat, saat ini berapa banyak populasi orang asli Jakarta, dalam artian etnis Betawi dan orang-orang non Betawi yang sudah turun temurun tinggal dan buang aer besar di Jakarta sejak jaman dahulu?
Kini, Jakarta sudah mulai berganti generasi penghuninya. Beberapa penghuni lama sudah mulai melangkahkan kaki ke pinggiran demi tetap bisa bertahan hidup. Mereka meninggalkan warisan yang mereka punya sejak kecil atau jauh sebelum mereka lahir.
Begitu pula dengan sarana olah raga, khususnya lapangan sepak bola. Stadion-stadion tua kini tinggal cerita atau lebih tepatnya benda mati yang meninggalkan cerita. Itu masih beruntung kelihatan wujudnya. Coba lihat Taman Menteng, dan tanyakan zaman dahulu taman itu berwujud apa sama anak-anak muda yang sekarang duduk-duduk . Bisa jadi pria muda klimis, dan berjenggot model masa kini seperti ‘Wak Doyok’ akan gelagepan menjawabnya.
Pastinya, Stadion Persija alias Menteng sudah agak banyak yang melupakannya. Bahkan tak jarang tidak tahu sama sekali bahwa Taman Menteng dulu sebuah lapangan sepak bola. Mereka-mereka tidak salah, karena mereka pasti tidak mendapat pelajaran tentang sejarah Persija. Namun, sangat disayangkan jika ‘orang-orang’ besar yang bersinggungan langsung dengan kota Jakarta dan Persija juga ikut-ikutan lupa atau sengaja menutupi sejarah kotanya. Broh…. sengaja melupakan sejarah atau menutupinya, itu benar-benar bahaya buat generasi di bawah, brooh.
Sebetulnya, apa sih itu Stadion Persija atawa Stadion Menteng?
Stadion Menteng adalah salah satu stadion tertua di Jakarta. Stadion Menteng awalnya bernama Viosveld yang dibangun pada tahun 1921. Pertama kali dirancang mengikuti rancangan awal kawasan Menteng oleh PAJ Moojen, dan diteruskan oleh arsitek bernama FJ Kubatz.
Selain membangun kawasan elite Menteng di Batavia, FJ Kubatz juga tak lupa membangun lapangan sepak bola. Kebetulan klub Vios (Voorwarts Is On Streven) bermukin di kawasan elit tersebut, maka jadilah lapangan itu bernama Viosveld atau lapangannya Vios.
Seiring kemerdekaan Indonesia, lapangan Menteng beralih fungsi menjadi lapangan untuk Persija. Pemberian Menteng untuk Persija diberikan langsung oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno.
Dari Stadion Persija di Menteng itu, Macan Kemayoran mampu melahirkan pemain-pemain hebat dalam sejarah sepak bola Indonesia. Soetjipto Soentoro, Kwee Tek Liong, Yudo Hadiyanto, Surya Lesmana, Iswadi Idris, Oyong Liza, Anjas Asmara, Andi Lala, Sofyan Hadi, Adityo Darmadi, Tonny Tanamal, hingga Bambang Pamungkas besar di stadion tengah kota ini.
Beberapa pertandingan-pertandingan penting Persija maupun kompetisi nasional kerap hadir di Stadion Menteng. Tak hanya tempat bertanding, Menteng pada jaman jayanya menjadi tempat berkumpulnya keluarga besar Persija, baik itu pemain, pelatih, pengurus klub anggota, sampai pendukungnya.
Sedangkan Menteng di zaman Persija susah, juga menjadi tempat para penikmatnya bersenda gurau atau sekedar bernostalgia dengan atmosfir Menteng, sekaligus melihat tunas-tunas muda Persija memainkan si kulit bundar, seperti zaman mereka dahulu.
Soerjadi Soerdirja Pertahankan Menteng
Nasib tinggal di Jakarta, tentu tak lepas dari ancaman penggusuran. Tahun 2006, setelah Persija kehilangan warna Merah-nya, surat kepemilikan Stadion Menteng secara ajaib menjadi milik Pemeritah Porvinsi DKI Jakarta. Stadion pemberian Ir Soekarno kepada Persija itu, kemudian resmi menjadi milik pemeritah kota setelah Persija dikuasai oleh rezim gubernur Sutiyoso.Pernah suatu ketika Stadion Menteng diincar pengusaha untuk mendirikan sebuah pusat perbelanjaan atau yang kita kenal dengan mall. Akan tetapi, proposal penawaran tersebut, ditolak mentah-mentah oleh gubernur saat itu, Soerjadi Soedirja. Alasannya adalah, Stadion Menteng itu menjadi daerah resapan air, lalu untuk evakuasi VVIP jika negara dalam bahaya, dan untuk pendidikan khususnya sarana olah raga.
Bahkan dalam surat kabar Kompas pernah dituliskan bahwa penolakan Soerjadi itu sangat jelas, yakni Jakarta butuh lapangan sepak bola. Jika Menteng dirubuhkan dan dijadikan pusat perbelanjaan, maka satu lapangan sepak bola tertua di Jakarta akan hilang. Maka di era Soerjadi, gagal pula pihak pengembang menyulap Stadion Menteng menjadi Mall.
Menteng yang Dilepas Sutiyoso
Hari berganti hari, tahun berganti tahun dan kini Honda pun sudah mengeluarkan varian baru seperti Brio dan Fredd. Namun, pesan Soerjadi Soedirja yang ingin mempertahankan Stadion Menteng, seperti tinggal pesan saja. Karena di tahun 1997 saat gubernur penerus Soerjadi dilantik, arah untuk merubah identitas Persija sudah mulai dirintis. Gubernur baru Jakarta itu akhirnya menyulap Stadion Menteng nan legendaris itu menjadi sebuah taman.Bukan tanpa pertentangan, jika Menteng akhirnya rata dengan tanah. Beberapa hari sebelum penggusuran. Para tokoh teras Persija, seperti Biner Tobing, Sjahril Gani, Kasdiono, sampai Bambang Soetjipto pun turun untuk mempertahankan Stadion Persija dari hadangan aparat-aparat pemerintah kota Jakarta.
Pemerintah kota DKI Jakarta berdalih bahwa penggusuran Stadion Menteng harus dilakukan karena terdapat beberapa pelanggaran. Misalnya, beberapa kios yang disinyalir menjadi kepentingan pribadi, lalu lorong-lorong stadion yang dijadikan tempat tinggal beberapa keluarga sampai keinginan pemerintah membuat lahan parkir yang nanti dananya masuk ke kas kota Jakarta.
Hal tersebut juga ditentang oleh warga Menteng. Banyak yang tidak setuju kalau lahan Stadion Persija akan dijadikan gedung parkir, karena akan membuat semacam polusi suara yang meraung-raung dari erangan mobil dan juga motor.
Tetap apalah daya, pertahanan para pejuang Menteng pun tumbang juga. Tepat tanggal 26 Juli 2006, Persija kehilangan salah satu rumah terbaiknya dalam sejarah. Ironisnya, Pembina Persija yang juga gubernur DKI, Sutiyoso mengacuhkan pesan Soerjadi Soedirja agar tidak melepas Stadion Menteng. Stadion Menteng, harus runtuh di tangan Pembinanya sendiri.
Pukul 7.30, dipimpin Walikota Jakarta Pusat, Muhayat dan wakilnya, Dadan Effendy plus Kepala Dinas Trantib Jakarta, Haryanto Bajuri mulai melakukan ‘pembredelan’ Stadion Menteng. Dengan mengerahkan 1000 petugas Trantib, 250 petugas kantor Walikota Jakarta Pusat, dan 450 petugas Pemprov DKI Jakarta, akhirnya keperkasaan Menteng rubuh juga.
Ribuan kenangan mendadak hilang dan menjadi hingar bingar petugas menghancurkan kayu-kayu serta tembok stadion. Stadion yang di era 1960-1970an tergolong elit ini, pasrah menghadapi kehancuran yang dilakukan oleh ‘orang besar’.
Kini, Stadion Menteng sudah beralih fungsi. Bekas stadion pun sudah tidak terlihat lagi dan telah berubah total menjadi tempat berkumpulanya warga Jakarta. Meski demikian, kenangan akan Stadion Menteng membekas di hati para pencinta Persija. Karena tidak akan mudah menghilangkan nostalgia Persija di stadion yang kurang lebih 45 tahun menemani perjalanan Macan Kemayoran.
Selamat jalan, Stadion Menteng…
*untuk semua kenangan sepak bola yang pernah hadir di Stadion Menteng.
Lahirnya Voetbalbond Indonesia Jacatra (1)
Persatuan Sepakbola Indonesia Jakarta atau yang dikenal dengan nama Persija, lahir dari semangat kemerdekaan. Tak heran, perkumpulan sepakbola yang dulu bernama Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ) ini sejak lahir pada November 1928 banyak diisi oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional.Berawal dari kebakaran Gang Bunder, Passer Baroe, Batavia-Centrum tahun 1928, suatu perkumpulan sepakbola pribumi di kota Batavia bersiap untuk lahir. Musibah yang menimpan warga Gang Bunder tersebut mendorong pemuda-pemuda pribumi untuk melakukan aksi sosial.
Sepakbola adalah permainan yang populer kala itu. Tentu saja, sepakbola menjadi cara ampuh untuk mengumpulkan dana agar bisa meringankan beban korban kebakaran. Maka, atas inisiatif beberapa para pemuda, mereka akan menggelar pertandingan amal untuk para korban.
Sayangnya, saat ingin memakai Lapangan Deca Park milik klub Hercules, mereka tak mendapat izin dari organisasi sepakbola londo di Batavia, yakni Voetbalbond Batavia Omstaken (VBO).
Diskriminasi semacan itu bukanlah barang baru pada masa kolonial. Bukan hanya di sepakbola saja, tapi dari segala sendi-sendi kehidupan kaum pribumi tak lepas dari sikap diskriminasi ini. Dalam hal sepakbola masa itu, pribumi tak diizinkan ikut dalam kompetisi VBO yang dipenuhi oleh klub-klub afiliasi Belanda.
Namun siapa sangka niat untuk membantu korban kebakaran Gang Bunder itu kemudian berujung dengan pendirian Voetbalbond Indonesia Jacartra (VIJ). VIJ lahir dari semangat pergerakan dan juga keinginan kuat para pribumi untuk merdeka.
Koran Pemandangan di tahun 1938 pernah membahas berdirinya Voetbalbond Indonesia Jacatra, dalam sebuah tulisan berjudul “Riwajat VIJ” di edisi khusus “Sepoeloeh Tahoen VIJ” tahun 1938.
Dalam tulisan tersebut dipaparkan bahwa VIJ lahir dari ide Soeri dan A. Alie. Keduanya mempunyai keinginan membuat bond yang khusus menampung para pesepak bola dan klub lokal di Batavia. Dalam rapat-rapat pendirian bond itu, A. Alie dan Soeri tak sendirian merumuskan ide tersebut. Alie juga mengundang Batamsche Studeendeu dan Persatoean Medan Sport (PMS) yang diwakili oleh A. Hamid dan A. Gaul.
Tujuan dasar dari pembentukan bond tersebut adalah sebagai wadah persatuan klub-klub lokal yang sudah banyak tersebar di Batavia sekaligus menjadi salah satu alat perjuangan menuju kemerdekaan melalui jalur sepak bola yang kian populer di seluruh penjuru Nusantara.
(Bersambung)
*tulisan ini pernah dimuat di kolom sejarah situs persija.co.id
Dan, Batavia Pun Berpesta di Tahun 1938
Tulisan ini pernah saya post di Notes saya di FB dan pernah juga masuk ke situs www.jakmania.org , agar tidak lupa saya mencoba untuk mempost ulang tulisan saya ini ke Legendary1928“ Saya akhirnya menemukan fakta menarik, dimana dalam beberapa sumber menyebutkan kompetisi PSSI pada tahun 1938 jatuh ke tangan Solo (Persis) tetapi dalam susunan Wikipedia juara ada tahun itu direbut oleh VIJ (Persija). Jelas kesimpangsiuran ini menimbulkan kebingungan, dan saya sedikit bertanya-tanya ada apa ditahun 1938.
Fakta menarik tersebut saya dapatkan dari koran yang bisa dibilang sudah sangat tua dan rapuh, sehingga untuk membalikan halamannya saja agak sedikit hati-hati kalo tidak mau robek secara ber-class, ya Koran itu bernama Sin Po, Koran tua dengan pasar pembaca tionghoa termasuk Koran yang sangat berpengaruh di Ibukota dan Surabaya (di Surabaya hadir dengan nama Sin Tit Po). Awalnya saya mengira Koran ini pro terhadap Belanda, terbukti dengan berita yang selalu berat ke VBO (Voetballbond Batvia Omstraken). Dimana kompetisi VBO selalu menjadi berita di rubrik sport, tetapi diam-diam saya menemukan berita tentang VIJ, yah walaupun kecil , itu sudah membuat saya senang.
Selain VIJ, adapula berita tentang timnas kita yang menjadi Negara asia pertama yang berlagai di Piala Dunia 1938 lengkap beserta foto. Hindia Belanda saat itu diwakili oleh orang-orang yang bernaung di bawah bendera NIVU. Ini yang membuat PSSI semakin membenci NIVU lantaran NIVU menipu PSSI. Ya tentang pengiriman tim ke piala dunia memang seharusnya ditentukan dengan pertandingan antara PSSI melawan NIVU yang pemenangnya berhak mewakili Hindia Belanda ke Piala Dunia, NIVU nampkanya mencium gelagat pembangkangan dari PSSI, takutnya di Piala Dunia nanti, PSSI mengibarkan panji semangat nasionalisme dalam diri Indonesia bukan Hindia Belanda yang menjadi Negara satelit dan jajahan kerajaan Belanda.
Oke balik lagi yuk ke VIJ sebagai cikal bakal Persija nantinya. Yap, sumber yang saya temukan sangat fix, bila dulu saya mendapat sumber dari tangan kedua, maka hari ini saya mendapatkan sumber dengan mata kepala saya sendiri. Awalnya saya hampir menduga bahwa memang benar bukan VIJ juaranya, dimana semifinal VIJ sudah bertemu Surabaya (Persibaja) terlebih dahulu. Ini sangat tidak sesuai dengan sumber yang banyak menyebutkan VIJ juara setelah mengalahkan SIVB dengaan skor 3-1 di final, nah itu memang terjadi tetapi bukan di kompetisi PSSI tahun 1938, itu terjadi di kompetisi NIVU, VBO berhasil mengalahkan SIVB dengan skor 3-1. Dari situ saya mencoba terus mencari artikel di Koran itu tentang final Kampeonturnoi PSSI dan hasilnya..eng..ing..eng.. yaaa VIJ berhasil mengalahkan Solo (Persis) dengan skor 3-1.
Artikel yang saya liat sendiri adalah fix dan berhasil mematahkan kegalauan saya tentang kompetisi tahun 1938 ini, bila kemarin-kemarin saya sempat berfikir Persija hanya juara 8 kali kompetisi PSSI maka sekarang saya sudah nyaman dengan 9 kali juara kompetisi tertinggi di Indonesia ini, plus satu kali juara Liga Indonesia tentunya, He..he..
Itu memang masa lalu, masa lalu yang membuat saya tertarik. Faktor Persija yang membuat saya ingin mengenal tim ini secara lebih dekat. Bila para hooligan, ultras bahkan para fans biasa saja bisa mengenal sejarah klub mereka, saya juga ingin mengenal sejarah panjang sebuah perkumpulan yang bahkan lebih besar dari sekedar klub, Tim Persija.
Besar karena Persija mengayomi beberapa klub yang ada di Jakarta, besar pula karena banyak pemain hebat dan gelar-gelar fantastis yang lahir dari tim ini. Apakah kita mengenal semua-semua dari mereka? I don’t think so..
Bila banyak dari orang lain yang memandang sinis dengan sejarah ataupun masa lalu, wajar saja. Karena kelemahan bangsa ini adalah penghilangan sejarah untuk membuat sejarah baru yang mungkin beberapa tahun kedepan akan hilang dan digantikan sejarah baru. 1938 adalah bukti, hilangnya sejarah atau kesimpangsiuran sejarah membuat saya sebagai pecinta Persija merasakan kegalauan yang luar biasa. Beruntung masih ada arsip tersimpan rapi di lantai 8 di gedung perpustakaan yang sangat sepi pengunjung, dari lantai ini saya merasa kembali terbang ke tahun-tahun itu, ikut merasakan sukses VIJ (Persija) yang mungkin orang-orang pada tahun itu tidak memikirkan begitu susahnya menemukan kembai arsip, dokumentasi dan data jerih payah mereka dalam menghadirkan gelar ke tanah Ibukota. ”
VIJ (PERSIJA) 3-1 Solo (Persis), di Sriwedari Solo
Gol VIJ : Soetjipto, Iskandar, Soetarno
Susunan Pemain VIJ tahun 1938 :
Roeljaman; Moh. Saridi, A. Gani; Djaimin, Moestari, Soemarno; Soetarno, Soetjipto, Soetedjo; Iskandar, Oentoeng.
*sumber : Koran Sin Po 10 Juni 1938
November Persija
Ketika memasuki bulan November, anak muda Jakarta yang menyukai Persija pasti akan menyambut bulan tersebut sebagai bulan kelahiran Persija. 28 November 84 tahun yang lalu, perkumpulan sepakbola seluruh Jakarta itu lahir.Sebetulnya bukan tanpa halangan atau bisa dibilang tidak mulus perkumpulan tersebut berdiri, sikap rasis pemerintah kolonial Belanda membuat sekumpulan pemuda membentuk perkumpulan sepakbola tandingan dengan tujuan memerdekakan diri dari penjajahan melalui jalur sepakbola.
Cerita bermula ketika para pemuda pribumi ingin mengadakan pertandingan sepakbola sebagai bentuk sosial untuk membantu korban kebakaran hebat yang terjadi di Kwitang, tapi bukan pertandingan sepakbola amal yang terjadi, melainkan pegusiran dan sikap rasis pengurus VBO (Voetballbond Batavia Omnstraken) terhadap pemuda pribumi.
Lapangan milik klub Hercules (anggota VBO saat itu) di Deca Park tidak boleh dipakai oleh kaum pribumi untuk bermain sepakbola. Jelas saja para pemuda tersebut yang masih hangat dengan Sumpah Pemuda segera mendirikan perkumpulan sepakbola pribumi pertama di Jakarta, yaitu dengan nama Voetballbond Indonesische Jacatra atau VIJ.
Pemakaian nama Jacatra tersebut menjadi alasan pergerakan mereka yang memang sangat membenci Belanda. Jacatra adalah nama tanah Batavia sebelum 1620 dimana saat itu Pangeran Jakarta, Wijayakrama masih menguasai tanah “kemenangan” ini.
Beruntung Jakarta saat itu diisi oleh para tokoh pemuda nasional yang berani menjamin kehidupan VIJ sebagai bentuk perlawanan terhadap Belanda. Bahkan para Pembina dan Ketua Umum VIJ adalah orang-orang yang menjadi tulang punggung proses kemerdekaan Indonesia, para tokoh nasional.
Jacatra saat itu sama seperti Jakarta saat ini, berbagai macam ras suku menjadi satu di daerah ini. Atas dasar itulah VIJ mengidentitaskan dirinya sebagai Merah-Putih. Sebuah indentitas perlawanan Indonesia dari kota yang biasa disebut “Indonesia Ketjil”.
Perlawanan terus berlanjut sampai pada akhirnya di tahun 1932, Mohammad Hoesni Thamrin memberikan lapangan di daerah Petojo sebagai “rumah” VIJ. Lapangan yg terletak di jalan Biak, Roxy tersebut digunakan VIJ sebagai tempat berkompetisi klub-klub anggotanya.
Bukan kampungan atau tidak modern, bahwa klub-klub VIJ bernama sangat pribumi, seperti Tjahaja Kwitang, STER, Setia, Malay Club, Keroekoenan, Andalas, Jong Krakatau, Sinar Betawi dll. Bahkan semua anggota klub-klub tersebut asli pribumi semua dan tidak satupun pemain keturunan asal Belanda.
Persaingan VIJ dan VBO jelas menjadi sangat kentara, bahkan di era tersebut VIJ dan VBO adalah raja Kampeonturnoi PSSI dan NIVU (Netherland Indische Voetball Unie). Jika dulu orang pribumi juga suka menonton kompetisi VBO maka setelah Ada VIJ, perhatian orang pribumi jelas lebih tertuju ke kompetisi VIJ.
Orang-orang dari Jatibaru, Tanah Abang, Kramat, Kwitang, Cideng, Roxy, bahkan orang-orang daerah Mester-Cornelis juga ikut menonton kompetisi VIJ atau pertandingan-pertandingan VIJ di Petojo. Bisa dibilang saat itu simpati orang Jacatra terhadap VIJ sudah sangat tinggi, hal inilah yg ditakuti oleh NIVU
Bahayakah keberadaan VIJ dimata NIVU? Jelas sangat berbahaya, VIJ adalah salah satu perkumpulan yang mendirikan PSSI di tahun 1930. Bersama-sama perkumpulan sepakbola yang ada di Indonesia, termasuk BIVB (Bandung), VIJ meruncingkan perlawanannya terhadap Belanda. PSSI alat pemersatu Indonesia yang bergerak di Sepakbola.
Terlebih posisi VIJ kuat dengan berdirinya para Pembina yang memang frontal terhadap Belanda. MH Thamrin, Dr A. Halim, Dr. Moewardi, Dr Koesoemah Atmadja, Mr Abudwahab, Mr. Basri dan tokoh pemuda Sunda di Jacatra, Iskandar Brata adalah tokoh-tokoh nasional yang juga para Pembina VIJ. VIJ saat itu adalah ancaman kelangsungan hidup NIVU dan Belanda di Indonesia.
Tokoh-tokoh itulah yang membuat VIJ tetap menggelar kompetisinya di Petojo, dibawah ancaman Belanda, VIJ tidak takut. Para pembinannya saat itu siap menjaga perkumpulan sepakbola “Indonesia Ketjil” ini sebagai ujung pedang perjuangan bangsa.
Nama VIJ saat ini memang sudah berganti menjadi Persija, tapi asa “Indonesia Ketjil” sampai saat ini masih menjadi milik Persija. Memang warna Merah-Putih telah runtuh oleh era Sutiyoso, tapi Persija saat ini tetaplah Persija, suatu Perkumpulan yang para pemainnya terdiri dari berbagai macam ras dan suku di Indonesia. Sayang jejak VIJ hanya lapangan Petojo yang sekarang dikitari oleh perkampungan warga, itu pun mungkin saja banyak dari pendukung Persija era ini yang masih belum tahu bahwa lapangan tersebut mempunyai cerita sejarah yang sangat dalam buat Persija.
Persija masih tetap menjadi primadona bagi semua orang, walau saat ini entah dimana “rumah” Persija, tapi perkumpulan ini masih ada dan tegak berdiri. Keyakinan orang terhadap kelangsungan Persija tetaplah tinggi, ditengah arus modernisasi, Persija yg ikut terkena hantaman badai penggusuran Jakarta masih tetap survive ditengah kemiskinannya.
Di bulan November inilah, pemuda era modernisasi saat ini harus menguatkan cerita manis engkong-engkong mereka sebelum mereka menjadi bagian Persija. Bukan untuk kembali ke masa lalu, bukan untuk larut dalam kenangan masa lalu. Tapi menguatkan kembali sejarah dan ceritakanlah kepada orang-orang setelah kita yang akan berangsur tua, seperti perkumpulan ini.
“ Keberadaan kita hari ini, berasal dari segala sesuatu yang telah dibangun pendahulu kita di masa lalu ”
Weltevreden, Tengah Kota Batavia
Weltevreden dahulu
dikenal sebagai tempat pemerintahan pusat Batavia yang membentang kearah
Batavia lama. Weltevreden juga bisa dibilang menjadi pusat kota atau
tengah kota dari Batavia. Disinilah kehidupan para penghuninya berpacu
dalam hidup.
Di daerah ini pula, beberapa lapangan sepakbola di
area Koningsplein atau Lapangan Singa berdiri. Mayoritas
lapangan-lapangan itu sudah ada pemiliknya sendiri, yang tak lain dan
tak bukan adalah klub-klub anggota VBO.
Termasuk lapangan Deca Park yang diceritakan abah
Alwi sebagai benih lahirnya VIJ. Tapi bukan dalam artian VIJ lahir di
Deca Park, tapi kejadian bermula dari lapangan ini. Saat terjadi
kebakaran hebat di Kwitang, warga ingin menggelar pertandingan amal
sepakbola di Deca Park. Tapi rencanya itu jelas mendapat penolakan dari
VBO yang mendapat instruksi langsung dari NIVU.
Merasa disingkirkan, kaum pribumi pun beramai-ramai
melakukan pemberontakan, terlebih lagi saat itu suasana Sumpah Pemuda
yang berlangsung di Jalan Kramat masih hangat-hangatnya. Semua terjadi
di tahun 1928, Sumpah Pemuda 28 Oktober yang bertempat di Jalan Kramat
dibarengi sebulan kemudan dengan berdirinya VIJ (Voetballbond
Indonesische Jacatra).
Pemuda Jakarta kala itu langsung mendirikan VIJ
setelah mendapat perilaku diskriminasi dari NIVU. Iskandar Brata, tokoh
pemuda Sunda di Batavia diangkat menjadi Ketua Umum pertama VIJ. Posisi
VIJ yang terletak di Pusat Pemerintahan Batavia membuat VIJ dilindungi
oleh tokoh-tokoh nasional.
Perkumpulan spesial di kota spesial ini dibina
langsung oleh tokoh pemuda Betawi, Mohammad Hoesni Thamrin. Bahkan
Thamrin tidak tanggung-tanggung dalam membina VIJ, lapangan Petojo
adalah buah kecintaan Thamrin kepada VIJ. Lapangan yang dibeli Thamrin
200 Gulden dengan cara dicicil tersebut melambangkan perlawanan terhadap
lapangan VIOS di Menteng yang dianggap sebagai lapangan elite milik
kaum londo.
Di Weltevreden ini juga berdiri klub-klub anggota
VIJ, mereka berkantor di sekitaran Petojo, Tanah Abang, Kramat, Tanah
Tinggi hingga Mesteer. Kawasan-kawasan tersebut menjadi tempat
legendaris pendukung VIJ.
Yup VIJ lahir dari tengah kota, Weltevreden adalah
pusat kota, pusat pemerintahan Belanda. Ditengah wilayah yang harusnya
steril dari kegiatan pro-kemerdekaan, berdiri dengan tegak perkumpulan
bola pribumi yang bertujuan melepaskan diri dari meneer-meneer londo.
Sumpah Pemuda dan VIJ lahir di tahun yang sama dan lahir di wilayah yang
sama. Ya, Weltevreden adalah Pusat Kota!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar